SISYPHUS adalah kita
Copyright ©Museo Nacional del Prado
Sisyphus adalah seorang raja dari Efira, sebuah kota di Yunani Kuno. Konon, dia adalah raja yang terkenal cerdik. Suatu hari, Zeus nyulik Aegina dan lewat daerah kekuasaannya. Sisyphus yang tahu informasi penting ini terus nyepuin ke ayahnya Aegina, yaitu Asopus si dewa sungai. Zeus yang murka akhirnya ngirim Sisyphus ke neraka. Nah, si Sisyphus ngerasa bosan di neraka dan usaha ngelobi dewa penjaga neraka buat dikasih waktu bentar lihat keadaan di bumi. Sisyphus akhirnya pulang ke bumi dan nggak pengin balik lagi. Para dewa akhirnya berunding ngasih hukuman unik buat manusia cerdik ini. Dia diminta dorong batu dari kaki bukit sampai puncak. Batu yang sudah sampai atas secara otomatis turun lagi ke kaki bukit. Dorong ke atas lagi. Terus menerus. Sepanjang hari.
Usut punya usut, yang dapat hukuman unik dari para dewa Yunani bukan cuma Sisyphus. Ada Prometheus, pencuri yang diikat di sebuah pohon dan hatinya dipatuk elang setiap hari. Atau Arachne, seorang penenun yang dihukum menjadi laba-laba. Dan juga Ixion, yang nggak sengaja naksir istrinya Zeus dan diikat di roda berapi selamanya.
Kalau dipikir-pikir, batu yang didorong Sisyphus itu representasi dari keinginan manusia. Dulu waktu kecil kita pengin punya boneka Barbie, terus sudah punya Barbie ganti pengin boneka Monokurobo, ganti tempat pensil bertingkat, dan seterusnya. Atau sewaktu dewasa, kita pengin punya motor Aerox, sudah kebeli Aerox ganti pengin Honda Civic, terus sebelum tidur ngayal babu pengin punya jet pribadi. Begitu terus. Kita selalu mendamba segala hal yang belum kita punya. Manusia berjuang, mencapai sesuatu, dan bersiap mendorong batu-batu yang lain ke atas bukit. Lalu, kita tiba-tiba mikir bahwa hidup penuh ketidakjelasan dan akhirnya nanyain ke diri sendiri ‘untuk apa’ ngusahain sejauh ini.
Albert Camus nyebut fenomena ini sebagai
absurdisme. Dalam esainya berjudul “The Myth of Sisyphus” jelasin dibanding
Prometheus yang minta bunuh diri karena nggak kuat jalanin hukuman, Sisyphus
malah sebaliknya. Dia bahagia, lho. Hidup memang repetitif, monoton, dan penuh
kejutan. Kayak bola yang ditendang oleh pemainnya. Arah bolanya bisa ke kanan,
kiri, atau melenceng jauh dari lapangan. Nggak bisa ditebak. Setelah mengakui keabsurdan dalam
hidup, kita juga diminta untuk terima kalau apa yang sudah kita mau, rancang,
dan usahakan bisa aja nggak kewujud sama sekali. Dan itu normal. Mungkin Albert
Camus benar, kita harus percaya bahwa Sisyphus pasti bahagia. Entah karena
pemandangan di atas bukit yang indah, atau karena tinggal di dunia
aja udah cukup bikin dia bahagia. Dan Sisyphus adalah kita.
Komentar
Posting Komentar