Ulasan Buku As Long As Lemon Trees Grow: Orang-Orang Suriah yang Menolak Kalah

 
(Dokumentasi Pribadi)

Penulis                 : Zoulfa Katouh

Penerbit               : Mizan Pustaka

Tahun terbit         : Januari 2023

Jumlah Halaman : 641 Halaman

Genre                  : Fiksi-Sejarah

Puisi Nizar Qabbani pada buku ini halaman 458,

كُلُّ لَيْمُوْنَةٍ سَتَنْجِبُ طِفْلاُ ... وَ مُحَلٌ أَنْ يَنْتَهِيَ اللَّيْمُوْنُ

Setiap butir lemon akan memunculkan tunas baru, dan lemon tidak akan pernah punah.”

Latar Belakang Sejarah

       Gelombang pemberontakan meledak di negara-negara Arab pada tahun 2011 yang kerap disebut Arab Spring. Gerakan tersebut menuntut para pemimpin negara yang otoriter untuk mundur dan menjalankan pemilihan umum secara adil dan terbuka. Termasuk rakyat Suriah yang mendesak  presidennya, Bashar al-Assad untuk mundur dari tampuk pemerintahan. Sebab, sejak kepemimpinannya kelompok oposisi ditindak keras hingga dijebloskan ke penjara. Gelombang pemberontak semakin memanas hingga menyebabkan perang saudara antara tentara Suriah yang didukung oleh Iran dan Rusia berlawanan dengan kelompok pemberontak. Mereka yang tertangkap dijebloskan ke penjara Sednaya, diadili maksimal lima menit, setelah itu dihabisi di sana. Konon, orang yang sudah masuk sana tidak akan pernah kembali.

Cerita dalam Novel

    Tokoh sentral bernama Salama, yang baru menempuh tahun kedua pendidikan apoteker di sebuah universitas di Suriah mendadak berubah profesi menjadi perawat. Perang yang terjadi merenggut banyak sekali hal yang dimiliki Salama dalam hidupnya. Menjadi yatim piatu dan hidup dalam ketakutan. Mati-matian Salama mencari alasan untuk tetap punya semangat hidup. Apakah Salama berhasil bertahan dan keluar dari keterpurukan?

    Novel ini buatku jadi pintu gerbang untuk mengenal lebih jauh apa yang terjadi di Suriah serta apa yang mereka perjuangkan bertahun-tahun lamanya. Ada tiga poin refleksi yang aku dapatkan setelah baca novel ini.

1. Kebebasan Harus Dibayar Sangat Mahal

    Udara segar yang kita hirup, makanan hangat, rumah nyaman yang menjadi tempat berteduh dari panas dan hujan, tempat-tempat indah yang kita kunjungi pelepas penat adalah barang-barang mewah yang tidak bisa dinikmati masyarakat dalam kondisi perang. Anak-anak korban perang tidak akan bebas bermain di luar sebab bom sewaktu-waktu bisa jatuh dan merenggut nyawa mereka. Mereka seakan tidak boleh sakit karena rumah sakit sudah terlalu penuh. Merdeka harus dibayar mahal dengan darah dan nyawa.

2. Mencintai Tanpa Keterikatan

       Dalam pandangan agama Buddha, sumber penderitaan adalah kemelekatan. Sedangkan pengertian kemelekatan adalah ikatan emosional terhadap objek, individu, dan situasi tertentu. Seorang individu tidak boleh menjadikan kekayaan, kedudukan, serta orang-orang yang dicintai sebagai sumber utama kebahagiaan. Sebab, hal-hal tersebut bisa direnggut secara tiba-tiba tanpa aba-aba. Saat individu terlalu terikat pada hal-hal di luar dirinya kehilangan akan menjadi kekecewaan, kesedihan, dan stres berlebihan. Baiknya kita menyadari bahwa segala yang dimiliki punya batas kedaluarsa, sehingga waktu yang kita miliki terbatas. Cara pandang ini akan membuat kita lebih menghargai kesempatan yang diberikan. Kekayaan dan kedudukan sebagai jembatan mewujudkan mimpi dan hal-hal baik bagi diri sendiri ataupun orang lain. Hubungan keluarga lebih berkualitas karena berusaha terus-menerus saling membesarkan kebaikan dan memperkecil kenop keburukan satu sama lain.

3. Percaya kepada Takdir Allah 

    Quraish Shihab dalam sebuah siniar menjelaskan ada istilah kasb, yakni usaha manusia yang dilakukan secara sadar dan sesuai keinginan kita. Contohnya, Umar bin Khattab yang gagal berangkat ke Syam saat terjadi wabah. Hal tersebut adalah upaya Umar bin Khattab menjaga dirinya dari bahaya. Di tengah ketidakpastian dan himpitan keadaan, manusia juga diwajibkan berusaha menjaga dirinya dari hal-hal yang membahayakan jiwa. Spirit ini menjadikan individu untuk tidak terpuruk terus-menerus sebab berfokus pada solusi. Hal ini tercemin pada kutipan dalam buku ini di halaman 369,

Takdir memiliki sulur-sulur benangnya, tetapi kitalah yang merajutnya dengan tindakan dan pilihan kita. Keimananku pada takdir tidak membuatku pasif. Tidak. Aku justru berjuang, berjuang, dan berjuang demi hidupku. Dan apa pun yang terjadi aku menerima hasilnya dengan tawakal, karena tahu kami sudah berusaha sebaik mungkin. Dan cukuplah Allah Subhana Wa Ta’ala sebagai saksi.


    Kover pada novel ini terlihat sangat estetik dan membahagiakan. Mungkin ini cerminan dari harapan penulis bahwa perang Suriah dengan segala kengeriannya berakhir bahagia. Dan mimpi itu akhirnya terwujud. Meski merupakan novel terjemahan, penyajian diksinya tetap sesuai konteks dan enak dibaca. Selain bermuatan air mata, alurnya juga menyediakan plot twist bagi pembaca. Dan terakhir, jika kamu sedang merasa hidup nggak baik-baik saja, novel ini bisa menemanimu menjelahi lorong gelap hingga bertemu secercah cahaya.







Komentar

Postingan Populer