Review Buku Perempuan-perempuan Perkasa: di Jawa Abad XVIII-XIX
Penulis: Peter Carey & Vincent Houben
Genre: Sejarah
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2016
Jumlah Halaman: 114 Halaman
Perempuan
dalam tradisi masyarakat Jawa dipandang sebagai konco wingking. Yang
mana tugas pokoknya hanya mengurusi sumur, dapur, dan kasur. Perempuan sebagai
produk budaya diharapkan dapat menyenangkan, menghibur, serta melayani suami.
Istilah ini, menempatkan perempuan dalam posisi ruang domestik dan hanya menjadi pelengkap bagi kaum
laki-laki. Prinsip yang tumbuh subur di masyarakat Jawa salah satunya, “suwarga nunut, neraka katut”
perempuan mengikuti nasib suami, baik atau buruk.
Sejak kapan perempuan
menghadapi diskriminasi ini? Peter Carey menemukan representasi perempuan dalam
karya J.B. Ruzius berjudul Heilig
Indie tahun 1905 sebagai sosok Raden Ayu yang cantik namun berkepala
kosong. Di era kolonial, daerah Timur menjadi surga hiburan untuk memuaskan
hasrat seksual para penjajah. Mereka sering kali mewajarkan perilaku
eksploitasi ekonomi, kekerasan, dan pelanggaran moral dengan memposisikan diri
mereka sebagai pembawa peradaban.
Seragam Prajurit Langenkusuma, Pameran Keraton Yogyakarta.
Bagaimana masyarakat Jawa memandang peran perempuan? Perempuan dalam budaya Jawa punya peran terhormat dan sangat dihargai di tengah masyarakat majemuk. Perempuan dalam bingkai pewayangan Jawa digambarkan sebagai sosok yang berani, kuat dan sakti. Misalnya, Dewi Woro Srikandi, pemanah ulung yang menjadi penjaga keamanan kerajaan Madukara, milik Pandawa. Di kemudian hari, Srikandi digunakan sebagai simbol kekuatan perempuan dalam berbagai bidang. Dalam tatanan sosial, Keraton Yogyakarta dan Mangkunegaran memiliki prajurit estri (prajurit perempuan) yang bertugas menjaga keamanan, menyusun strategi perang, dan piawai dalam menggunakan senjata tajam.
Sekitar tahun
1900-an saat teknik batik cap ditemukan, Laweyan menjadi salah satu episentrum
industri batik di Surakarta. Perdagangan
batik yang kala itu masih menggunakan moda transportasi perahu dipimpin para
perempuan yang disebut Mbok Mase. Berkat kiprah Mbok Mase,
laweyan menjadi salah satu kawasan industri
batik terkenal dan bersaing dengan Pekalongan dan Yogyakarta. Dalam buku
ini, perempuan Jawa memiliki kedudukan sebagai pengabsah wangsa. Istilah ini
dimaknai perempuan ikut menciptakan perubahan dunia.
Melalui
berbagai literatur dan temuan sejarah, Peter Carey mencoba mengajak kita untuk
memahami bahwa stigma gender bukan budaya bangsa Indonesia. Perempuan juga
punya peran krusial dan andil dalam pengambilan keputusan di ruang publik. Mengingat
buku ditulis oleh sejarawan anggapan akan banyak istilah-istilah ilmiah
ternyata salah. Buku ini terkesan tipis karena hanya 114 halaman, namun
penjelasannya padat dan mudah dipahami. Dan yang lebih istimewa lagi, setiap
dicetak ulang penulis berdedikasi untuk menuliskan prakata sesuai konteks
kejadian di masa kini. Sehingga buku ini relevan dibaca dari masa ke masa dan
berhasil menembus ruang dan waktu.
Komentar
Posting Komentar