Apakah ada Agenda Propaganda dalam Novel 1984?
Sumber Gambar: pinterest
Penerbit: Bentang Pustaka
Genre: Fiksi – Politik
Jumlah Halaman : 395 halaman
Tahun Terbit: Desember 2003
Penulis: George Orwell
Rekomendasi bacaan ini didapatkan setelah baca buku karangan Leila Chudori
berjudul Namaku Alam -1. Konon, novel klasik ini menjadi bacaan wajib
siswa SMP sekolah-sekolah di Amerika. Namun, pada tahun 1950, saat kepemimpinan
Stalin buku ini sempat dilarang terbit di Rusia karena dianggap menyebarkan
paham antikomunis. Gelombang penolakan datang dari negara-negara lain
setelahnya. Kenapa novel ini begitu berbahaya?
Buku ini menceritakan Winston Smith, seorang pemuda kelas menengah yang
tinggal di negara Oseania. Negara ini mengadopsi sistem pemerintahan totalitarianisme?, yang mana
kekuasaan milik pemerintah sepenuhnya. Sehingga negara berhak mengatur hampir semua aspek kehidupan
warganya, baik itu politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Dalam sistem
totalitarian, tidak ada kebebasan politik atau oposisi yang diizinkan.
![]() |
Sumber Gambar: pinterest |
Pekerjaan Winston sehari-hari ialah menghapus
semua informasi yang bertentangan dengan kehendak Big Brother, otoritas
tertinggi di Oseania. Mereka dapat memanipulasi dan menulis ulang sejarah
sesuai dengan kehendak dan kebenaran yang mereka inginkan. Orwell membangun
dunia distopia yang pesimistis, penuh tekanan, dan rasa takut dengan alat
bernama teleskrin. Alat ini digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua perilaku
warga dan dipasang di berbagai sudut kota bahkan di dalam kamar tidur.
Masalah baru muncul ketika Winston jatuh
cinta dengan perempuan bernama Julia. Yang mana hal itu dianggap dosa besar
oleh partai. Karena sudah kadung cinta, keduanya menyusun berbagai siasat agar
hubungannya tidak tercium partai dan terhindar dari pengawasan teleskrin. Bisakah
dua sejoli berkesempatan untuk hidup bahagia bersama?
Novel yang ditulis pada 1949 ini masih sangat
relevan sebagai gambaran negara-negara yang mengawasi rakyatnya melalui
teleskrin modern, yakni internet. Meski negara tidak mengakui secara terbuka
tindakan mata- mata ini, namun tabiat ini sudah menjadi rahasia umum. Tak
jarang negara memiliki anggaran khusus untuk menggiring opini publik lewat
sosial media. Sebab, sosial media
dipandang sebagai senjata propaganda paling mutakhir, bertujuan membentuk
persepsi dan citra baik. Kesamaan informasi dapat dirancang melalui sosial
media dengan bantuan buzzer. Dari investigasi TVOne, tarif mengangkat informasi di X dengan 5-1 juta
jangkauan selama 1 jam dibandrol Rp3.000.000. Kemudian, paket Instagram dengan Key
Opinion Leaders punya tarif Rp50-100 juta sampai opini tersebut viral dan
jadi topik perbincangan. Para buzzer atau pendengung bertugas menanamkan
informasi sebagai kebenaran absolut. Sounds familiar?
Dalam dunia karangan Orwell, warga yang tidak setuju dengan informasi dari
Big Brother harus menerima hukuman berat di ruang 101. Para pendosa dipaksa
menyetujui informasi yang disampaikan partai dengan penyiksaan fisik dan
psikis. Kaki tangan partai mencuci otak para pendosa menggunakan ketakutan
terbesar dalam diri seseorang.
Orwell memang terkenal piawai menyamarkan pesan subliminal dengan alegori-alegori. Sangat disayangkan, terjemahan pada penerbit ini terkesan bertele-tele dan banyak menggunakan istilah yang terdengar asing di telinga orang Indonesia. Misalnya, penerjemah menggunakan diksi ‘mesin tulis ucap’ untuk membahasakan mesin tik. Lalu, diksi ‘regang raga’ untuk membahasakan senam. Jika tertarik memmbaca novel ini versi bahasa Indonesia, silakan pertimbangkan untuk memilih terjemahan dari penerbit lain. Buku ini sudah memasuki domain publik pada tahun 2021, sehingga pembaca diuntungkan mencari terjemahan paling cocok untuk dinikmati. Seorang warganet di platform Threads merekomendasikan untuk menonton 1984 versi visual dengan tautan ini.
Setelah membaca 1984, muncul kesadaran bahwa ada banyak negara yang tidak
ingin rakyatnya terdidik. Sebab pengetahuan akan menyadarkan rakyat bahwa
kebijakan-kebijakan yang diambil semata-mata untuk kepentingan golongan dan
penguasa. Semakin banyak orang yang
terdidik akan mencetak gelombang pemberontakan dan merepotkan rezim.
Komentar
Posting Komentar