hal-hal remeh yang kutemui selama sepekan

 

Dokumentasi Pribadi

1. Kata Orang Aku Kurang Bersyukur.

Pinterest.com

Aku pernah mengeluhkan beban pekerjaan dengan seorang teman. “Hasil kerjaanku banyak revisi, pusing.” Lalu, dia menimpali, “Kamu harusnya bersyukur, di luar sana masih banyak orang yang sibuk cari kerja.”  Awalnya aku pikir dia nirempati. Heh, jahat betul ente! Lalu, aku dapat istilah schadenfreude –dibaca syadenfroide– dari bukunya dr. Andreas. Istilah ini dipakai untuk jelasin perasaan senang ketika melihat penderitaan orang lain. Kedengaran jahat, ya? Tapi ini perasaan yang wajar dan terjadi tanpa disadari bahkan sama diriku sendiri. Misalnya, aku merasa senang saat anak koruptor dirujak netizen di media sosial. Jadi, rasa schadenfreude juga terjadi waktu temanku bilang, “Kamu harus bersyukur, banyak orang yang lebih susah.” Dia nggak jahat, dia cuma membandingkan dirinya dengan orang lain.

Konsep bersyukur yang sering dipahami orang adalah menghilangkan hal negatif dan membesarkan hal positif. Tunggu dulu, bukannya pemahaman ini kerasa kurang adil? Kesannya kita kayak mengabaikan rasa sakit. Gimana kalau bersyukur artinya menyadari bahwa kedua hal selalu  terjadi dalam hidup? Lalu, kita bisa memilih untuk koleksi hal baik bahkan yang terkecil setiap hari dalam gratitude journal. 

2. AhSepertinya Ada yang Salah.

Akhir-akhir ini aku merasa lebih sering ketrigger sewaktu interaksi dengan teman dekat. Ternyata, ini alarm dari dalam diriku karena ada luka psikis yang belum selesai. Misalnya, aku lebih memilih diam agar terhindar dari konflik dan selalu berusaha mengutamakan kebutuhan orang lain. Apakah ini tandanya relasiku nggak sehat? Kemudian, aku coba cari informasi dan nemu satu fakta bahwa saat kita menjalin relasi dengan seseorang –teman, rekan kerja, pasangan, orang tua– berpotensi membangunkan luka emosi di masa lalu karena ada kedekatan emosional sehingga kita jadi lebih terbuka dan rentan.

Kabar baiknya, di dalam hubungan yang sehat luka emosi diterima tanpa dihakimi. Perasaan diterima dan dicintai yang begitu besar membantu luka emosi dirasakan secara sadar, diurai, diberi nama, dicari akar penyebabnya, dan dibereskan perlahan. Menurut studi Fronties Psychology tahun 2019, emosi negatif dalam ingatan yang telah diproses mempercepat perbaikan individu akan trauma masa lalu. Jadi, aku punya kesempatan untuk bertumbuh lebih besar dari luka yang aku punya.

5. Menjinakkan Naga dalam Diri Perempuan

Aku sering merasa bersalah karena emosi yang fluktuatif di hari-hari tertentu. Contohnya, aku pernah nangis karena pengin makan ayam goreng bagian paha dan bagian itu habis tinggal dada atas. LOL. Terus, pernah juga nangisin anak kecil pedagang tisu di lampu merah, padahal dia aku nggak kenal. Belakangan aku sadar bahwa mood dan perasaan sedih itu dipengaruhi turunnya hormon estrogen di dalam diri perempuan di fase siklus bulanan. Aku belajar bahwa perasaan yang datang itu valid bagaimana pun bentuknya. Perempuan ataupun aku secara khusus kadang merasa optimis sampai  mau hidup seribu tahun di fase ovulasi. Sebaliknya, aku merasa super lelah saat fase menstruasi. Hormon estrogen ngasih perempuan fitur khusus, yakni berperasaan lebih sensitif dan juga proteksi serta kekuatan untuk daya tahan alami terhadap infeksi.

Dari fakta ini aku sadar kalau naik turunnya emosi bisa dikendalikan selayaknya aku belajar naik sepeda.   Saat fase luteal di mana estrogen turun dan cenderung mudah cemas aku bisa olahraga ringan. Kemudian, di fase folikuler saat estrogen sedang berada di ubun-ubun aku mengisi energi dengan berkegiatan sosial dan bertemu teman. Ditutup dengan pesan dari sesepuh para Psikolog, Carl Jung, "The feminine is the matrix of life.

Komentar

Postingan Populer