Dua Puluh Tujuh
![]() |
Foto oleh Finney di Unsplash |
Beberapa hari lagi aku akan menyambut umur baru. Ternyata, sudah puluh tujuh tahun aku bernapas di dunia. Lahir di saat krisis ekonomi ‘98, lolos seleksi kiamat 2012, dan selamat dari COVID-19, tapi sedihnya hidup dalam krisis iklim dan peperangan. Sungguh perjalanan yang sangar. Terlahir sebagai perempuan amat membingungkan. Memasuki usia yang tergolong muda untuk mati mendadak dan tergolong tua untuk lajang. Dasar masyarakat standar ganda!1!1!
Kata seniorku, “Nilailah hidupmu dari tahun ke tahun!”
Jika yang dimaksud adalah perbandingan pencapaian, maka yang paling dekat tahun kemarin. Di usia 26 tahun. Dilihat dari pekerjaan justru turun jabatan. kwkwk. Aneh banget dah. Setahun yang lalu, aku sedang berlari menjauhi sesuatu sejauh-sejauhnya. Nyari celah gimana caranya nggak ketemu, nggak inget, dan nggak kepikiran. Waktu, tenaga, dan semua sumber daya dikerahkan untuk ngebangun benteng pertahanan dari musuh. Rupanya yang aku jadikan musuh ialah rasa takutku sendiri. Dan di usia baru, aku sudah mulai berkawan dengannya. Aku berani melihat luka sebagai tempat bertumbuh dan berbenah. Aku jauh lebih bahagia dari setahun yang lalu. Sebab, hari ini aku berusaha memantaskan diri mencapai sesuatu. Bismillah headshot.
Selain bertambah usia dan berat badan, tentu masalah hidup juga makin berat. Nggak papa. Selama ada nasi goreng ibu dan teh manis bapak hidup akan selalu baik-baik saja. Semoga.
Tak lupa, aku berterima kasih dan bersyukur atas segala hal yang sudah dialami sampai detik ini. Kepada keluarga tempat berbagi suka dan air mata. Sahabat yang bersedia jujur memberi masukan dan bersedekah waktunya untuk tamasya kuliner di seantero kota dengan sepenuh hati. Orang-orang yang pernah berkonflik dan mendewasakanku. Orang-orang yang aku temui dan menginspirasi. Orang-orang brengsek yang bikin bersyukur aku nggak jadi salah satunya. Untuk segala nikmat yang nggak bisa disebut satu per satu. Untuk segala bencana yang mendewasakan. Untuk memori hangat yang sulit dilupakan. Untuk memori-memori menyesakkan yang pernah membuat luka.
Terima kasih banyak.
Semoga ke depannya, aku bisa makin berguna untuk keluarga, kawan dekat, dan orang-orang sekitar. Makin cinta dengan diri sendiri, jujur, dan berani. Sehingga aku nggak mudah terjebak di hubungan yang merendahkanku, pekerjaan yang menguras jiwaku, dan lingkungan yang membuatku merasa kecil dan nggak berdaya. Makin diberi kesempatan berkarya sekecil apa pun dan dipercayakan mengerjakan hal-hal besar.
Terakhir, ditutup dengan tulisan Kalis Mardiasih, “Mencintai adalah bosan, lelah, dan mati berkali-kali. Tapi, sekaligus hidup dengan nyawa baru esok hari.”
Komentar
Posting Komentar